Selasa, 02 Agustus 2016

Ingin

Aku ingin berbagi temperatur dalam rapatnya dekap kulit, daging, tulang, dan ruh
Aku ingin bermukim pada aroma rambut yang tidak asing bermusim-musim

Ada jurang-jurang dalam pada nafas yang dibiarkan begitu saja
sialnya bantal-guling tak lagi menyumpal dasarnya
sialnya aku sial

Berisik! Aku ingin bisik-bisik. mencairkan senyap, membekukan gaduh.

Risau meranum, subur membaur, berganti-ganti tetapi terasa itu lagi itu lagi
cangkirku berisi gerimis, dan jingga purnama itu meleleh di wajahmu, mengotori kerah bajumu, menyelundupkan perasaanku.

Lagi

Cangkirku berisi gerimis, awan kelabu, dan kilat menjalar
dan langitnya hitam, pekat, tanpa gula.

Minggu, 13 Juli 2014

dengan apa aku menghadap

rusak sudah kosmetik malam, lampu kota sunyi yang menyala
sebelum mendung datang seolah mendukung, aku mengikatkan bulan dengan benang
menggiringnya bersama ketukan di depan pintu kamarmu jam 8 malam
tadi berani unggul segunung
terlambat
kata-kata ku runcing bersarang di sudut kedut dahi itu.
apa lagi yang tersisa? yang akan terus ada adalah kesempatan
terlambat
sekarang basa-basi melenturkan sendi-sendi sandiwara
saling tukar ramah menjaga harga peradaban
tersisa keputusan atau keputusasaan
tentu jadi pilihan, dengan apa aku beratap
berharap juang, atau meratap curam.

Rabu, 15 Januari 2014

hunian alasan

berperan bagai tugu, dengan rupa kemayu. Berkelana tidak demi bijaksana tetapi hanya mencari jawaban yang ingin kamu dengar.
pertimbangan hanya alasan, kala kamu tidak mempertimbangkan 

dan kita hanya terkurung dalam alasan, untuk melakukan atau untuk tidak melakukan.

tetap beralasan.

anjing, pada akhirnya kita cuma jadi pecandu kata dan kelihaian bahasa untuk menang bukan untuk benar

seberapa terik kemampuan, semudah itu kamu si benar
Itu bukan kebenaran kesayangan.. Itu bayangan.

Kamu pun sebenarnya ragu dalam hati kecilmu. Berusaha terus selalu melahirkan karena setelah mengapa, dan melahirkan tapi setelah karena
begitu tahu tujuanmu adalah setuju yang kamu reka sebelum bertemu
percuma mendengar ketika kamu tidak mendengarkan

Teman-teman kau tak akan pernah tahu seberapa redup nyawa mu, Seberapa dekat kau dengan gembur humus.

Selasa, 10 Desember 2013

menanggung nyawa

aku yang menggenang rupa
aku yang berbentuk sukma

lihat siapa itu yang sudah bau tanah
tanah basah, lembap ruang, hening rayap
oh! inilah aku, hantu yang berkendara raga
menanggung beban kebencian seperti semuanya

kalau pecah, darah direbus amarah
kalau utuh, terjun peluh disambut keluh

Aduh! wajahku yang lengah, sepersekian detik mata ini jujur.
ternyata sudah rural, aku siapa? darimana?
berupaya tidak terlihat lugu, walau getir hati terpaksa ragu
Pergi tanpa tujuan hanya supaya tidak pernah tersesat.

kepadamu, wahai november. kau tahu?
ada riak yang tak sempat jadi ombak
ada secercah yang terlambat jadi terik
tapi doaku tak menyurut berkecambah dimulut
berusaha mencurangimu sejak januari!
tak pernah berhasil aku menjinakan-mu
tidak terasa sudah tiga november.
dan kau tetap berupaya tidak menyenangkanku

ha ha.

Selasa, 12 November 2013

Utara & Selatan

Kini aku menyadari, semesta menjebak aku dan mata angin
mensiasati supaya aku menuju sudut itu
walau aku tidak mau. tidak akan. Tidak!

di waktu larut dalam konsentrasi kantuk, jebakan itu menggenapi kesunyian pikiran.
selalu pasang enggan menjadi surut, ah tidak memberikan pilihan untuk menepi.
aku yang berlayar tidak bisa pulang, membungkus perasaan dalam kafan. Anjing!

jika aku membiarkan ada sejengkal antara kau & aku
maka aku bukanlah si hebat itu
jika aku membiarkan ada dua hektar antara kau & aku 
maka barangkali kita saling mencari, atau hanya salahsatu

kemudian aku & kau berada di kota yang berbeda, mulai mengembang atau layu
kemudian aku & kau berada di negara yang berbeda, menjadi cahaya atau bayangan
kemudian aku & kau berada di benua yang berbeda
ah, apa yang terjadi?
Tiupanku mampu menjadi badai dimanapun kau berada.

Selasa, 22 Oktober 2013

Untuk kamu yang memandang dunia begitu gelap

Tamasya di sadarmu, aku enggan naif menjadi
terkurung dalam sunyaruri, kamu enggan menyadari
pemberontakan menjadi petir bahasamu yang tak kunjung bercuaca.

serak-serak parau teriak-teriak
bergelantungan di curam-curam dependensi orang tua.

mari cari dasar nalarmu mengakar, kau tikam aku dengan belati serupa monolog
tentang bagaimana agama mengajarimu untuk tidak beribadah.
kamu mendung yang murung berharap penemuan mu terjadi.

kamu dengar kamu bertambah
kamu bicara kamu dalam jumlah yang sama

Selasa, 18 Juni 2013

sekian macam malam

kemudian malam menjadi semacam pemicu reaksi imaji kesenangan yang akan datang
mengurai dan mengunci rasa penasaranku kemudian juga atensi yang hadir mencuri nafasnya selepas tawa.

malam bagiku dan bagimu menjadi semacam sepenggal pembatas
antara rindu-ku dan ketidaktahuan-mu

kemudian malam menjadi semacam pinta,
akan ketersediaan ruang dan kebersediaan datang