Ini mungkin tak berbeda dengan malam-malam yang kita jalani
bersama berdua, menghabiskan imajinasi fiktif kita dalam serakan kalimat. Difusi
dari dalam tengkorak kita berdua yang berhadapan kepada ruang yang sedang tidak
bercanda dan tidak juga berduka.
Lekat-lekat aku segera merekat pandangan itu, pandangan yang
mulai layu, digiring denting detik waktu yang tetap menggumamkan litotes itu,
merasa dirinya lugu, tidak bersalah, itu tidak lucu berengsek!!.
Memaksa menguning dan gugur.
Gugur ditempat tidur. Hanyut direndam kantuk dan karam dalam
bantal bersama lipatan-lipatan mimpi yang menunggu dibongkar menjadi selembar
atau dua lembar dengan pola yang membekas cekas diatasnya. Jika kau mau
beranjak ke keningku, mencabik dan membelah kulitku, meminum setiap butir darah
yang berderai, lalu remukkan tengkorakku, mungkin kau dapat meremas gagasan
yang ada disitu, mungkin kau akan tahu yang kumau, bukan kalimat lagi yang ingin
kuucap dari kebergunaan bibir ini, mulut ini, kehendak ini.
Coba tengok, mulutmu penuh dengan buih-buih kalimat yang
tadi kau ucap, berceceran sampai dagu, dan kini beralih rupa menjadi jelaga
yang entah dibawa siapa menguap lenyap sama sekali. Sungguh, rekah kerut bibir
itu yang ingin kusentuh, menerawangnya pelan dengan kecup
Mengikat dan melilit lidah mu dan lidahku menjadi pintalan
tak berwujud, kemudian mencair menjadi liur yang rebutan celah diantara segala
yang ada didalam mulut kita, untuk menari gila. Saling isi dan menyingkir,
saling datang dan diganti, kemudian lelah, melebur jadi abu. Entah decak ludah siapa
yang hadir mendominasi ruang mulutku. Semoga mengkristal menjadi stalaktit,
biar jadi bukti kalau kita pernah mesra.
Aku yang mendamba, akan terus mengerubuti lekuk merah itu,
musim semi yang muncul dari pikat rona pipimu, sampai bayangan mulutmu dirubung
entah nafsu atau rinduku.
Ya, mungkin hanya hal itu yang akan menjadikan kata-kata
hangus tercekat, memenjaranya dalam kebingungan “harus bagaimana?” ya, mungkin
harus menguyah lidahmu yang hambar, dapat keringkan becek-becek yang berserak
tak beraturan bagai kubangan, marilah mengganti becek gagasan-gagasan itu
menjadi becek-becek terpautnya sentuh kita.
Akhirnya aku ingin mengukir cipta bernama luka diatas
permukaan bibirmu, atau lukisan mawar tak bertangkai di batang lehermu yang
bersemarak karena darah yang deras melawan gravitasi menuju ruang kontrol
pusat. Maaf telah membuatmu perlu
tergelincir kedalam sengat dan regang nikmat yang tak perlu. Aku mengkonversi
manifestasi saling percaya kita menjadi eskalasi sensasi.
Tapi rupa-rupanya aku masih dalam pengaruh wajah medusa
aku membatu
terperangah, karena dalam kenyataannya aku hanya mengutuk
bertubi, karena tak berkutik! Tak menyanggupi untuk mewadahi teduhnya musim
semi dipipimu, nyala temarang musim panas senyum itu, kemayu malu musim gugur
kedipan lambat itu, dan aku adalah musim dingin yang jauh ada di desember,
menganga kaku karena beku.
Kembali ke kenyataan, aku tak berbuat apa-apa hanya
mendengarmu mengemas cerita yang usai kau baca ulang. Memungut dan menata rapi
menjadi literatur pustaka ingatanku.
Kacaunya aku memotret ekspektasi imajiner terlalu rimbun,
hingga genangnya tenggelamkan realita dan idea. Memadunya hingga tak paham lagi
yang mana salah satunya, pula didorong keniscayaan yang memudarkan pulasan
perbatasan antara nyata dan tidak. Hingga tiada lagi pembeda, akhirnya aku
tersesat dalam alam surealistik pengkultusan yang dicipta sendiri.
Dan kau yang masih tenang duduk diseberang sofa, tidak tahu
bahwa aku sedang dimana, tidak tahu bahwa kau adalah candu yang seenaknya
tumbuh liar dengan gempita didalam semak belukar kondisi tak bernama.
Dengan kesadaran yang nanar kini aku masih menghisap puntung
yang ada disela jariku, menghembusnya lantang lewat kesombongan-sesumbar
pejantan alpha, karena tidak mudah membagi kehendak ini, atau
mungkin
mengalihkan kepada sesuatu yang lain.
Ini Libidinal!
Atas nama riak dan ombak aku ingin kau dan aku dibungkus
lengket satu pelukan yang mungkin juga berhasil mengundurkan kata-kata yang tak
tahan lagi mau amburadul menghambur, tentunya ketika kau tiba di desember yang beku, dimana Humor
tentang Anjing adalah horor yang runtuhkan cuat mercusuar nyaliku menjadi
puing-puing fragmen abadi yang dibawa ingatan setiap yang pandang. Dipermainkan
sedapnya lawak taman malam dengan hela dan desah lilin yang pasrah mengangkang
dilumat angin.
Dan kehendak ini tetap mengamuk dibalik neraka etika dan
superego. Aku tetap mendengarmu bercerita, kahendak ini tetap terisolir tak
terusik. Aku yang begitu ingin, yang mendamba dan berharap dengan pilu yang
kusadari betul hadirnya, bersama bulan yang terdampar dalam genang kopi kita,
juga intipan kehendak ini dibalik lubang kunci, begitu ingin, Begitu ingin, Begitu
ingin.
Dan yang kulakukan adalah diam mematung diseberang sofa,
terbujur kaku tanpa daya, menunggu paduan suara parau para penyambut pagi, sambil
menyemil dongeng tuan putri.