Minggu, 29 April 2012

kemurnian tak akan kembali

berjatuhan perlahan, menjadikan pucat kekeringan
terbata lupa makna. situasi puncak kebinasaan kekayaan bahasa
layu telah tepis lelah dipundak dan seringai miris telah tunjukan kecanggungan-nya.

dimana ini? tiada mendung yang mau mengalah.

mengambul, kepulan buah pencahayaan digelayut-nya ranting berdahaga.

telaga serba ada, segera menunjukan sibuknya kelengkapan pesta komoditas suatu entitas
membuat pikiran tak lagi mungkin mencari kebutuhan, melainkan keinginan yang tak tertahankan.

luluh lantah dirayu perkembangan.

kerasukan kerakusan. membuat aku ditelan, tidak! aku tertelan.

tertelan hingar bingar nilai-nilai buatan,
dan otomatis mengaktifkan sensor motorik, untuk
menggambar pola sistemik didalam kertas biru peradaban komersil
kita? ah kita sudah menjadi anak kandung dari rahim ketidaksadaran

Selasa, 03 April 2012

mencerita latar

Detik dan menit ini adalah, Setiap tidur yang terlubangi kubangan hasrat yang enggan menyala, sukarnya selelap itu. Selalu ada tepian diri yang terkelupas, terkoyak didalam lebat nya alam pikiran. Berdebu, basah berembun, menyakitkan, memeras keceriaan yang sebelumnya sering singgah. Menegok keadaan suram yang begitu padam.

Pendar remang lampu-lampuan kenangan silih ganti bersahutan, terbang-membangunkan mata yang tak peduli, atau pura-pura tak peduli. Memastikan dan menekankan bahwa tak ada tempat untuk bersembunyi dari desakan kepedulian dan rindu, tak ada, tak akan luput, tidak!

barang sekali dendam memergoki dengan tatapan sayu, mencoba mengadu kebenaran dengan logika perasaan, dengan ranah yang jarang dijamah, bersama sekelumit kisah pembalasan mereka memaparkan. Dalam labirin kebencian aku terjebak, dijebak kemanusiaan yang tak punya ukuran. Aku terpejam, berusaha tidak peduli. Sama sekali tidak berusaha pergi larikan diri, aku meracau. Dengung dan decitan kenangan yang membangunkan, sekarang memproyeksikan visualisasi didalam coklatnya bingkai tua, menebar senyum lebar.

Kulihat deretan gigi geligi kurang rapi berusaha cairkan eskalasi emosi. Dibalik pintu besi itu dia lihai mainkan peranan, mengusir penat di atas pundak-pundak yang begitu berat. Lambat waktu iringi kepergian itu dengan nyanyian radio yang berkali tiada lelah mengalunkan lagu yang itu itu saja.

Membenamkan lebih jauh lagi didalam dada, mengorek, merobek, dan mencacah habis isi dada, memaksa mencari sekian meter persegi ruang untuk duduk, bersandar dan tertawa.

Ha, waktu.. geriginya tak pernah rusak, tak pernah macet, tak pernah kekurangan pelumas.

Seringkali tubuh ini berjejalan bersama-sama dengan putaran gerigi yang berbeda-beda, dan mengakhirinya adalah titik dimana aku tak binasa. Tapi dirasa hari ini begitu berharga, karena tahu bahwa besok kita adalah sosok kepribadian yang berbeda. Mencoba menjadi kita yang tak lagi sama. Merumuskan perubahan, Berputar arah, memalingkan kepala, tak saling pandang, tak ada silih melempari kalimat

Dahulu, ada janji dua jemari yang saling melingkari. Dahulu, ada kaki yang saling berhadap. Dahulu, ada wajah yang saling menatap dalam. Dahulu ada sebidang ruang untuk menanamkan sesal, dan sekarang ada tempat menuainya. Tai!