Selasa, 10 Desember 2013

menanggung nyawa

aku yang menggenang rupa
aku yang berbentuk sukma

lihat siapa itu yang sudah bau tanah
tanah basah, lembap ruang, hening rayap
oh! inilah aku, hantu yang berkendara raga
menanggung beban kebencian seperti semuanya

kalau pecah, darah direbus amarah
kalau utuh, terjun peluh disambut keluh

Aduh! wajahku yang lengah, sepersekian detik mata ini jujur.
ternyata sudah rural, aku siapa? darimana?
berupaya tidak terlihat lugu, walau getir hati terpaksa ragu
Pergi tanpa tujuan hanya supaya tidak pernah tersesat.

kepadamu, wahai november. kau tahu?
ada riak yang tak sempat jadi ombak
ada secercah yang terlambat jadi terik
tapi doaku tak menyurut berkecambah dimulut
berusaha mencurangimu sejak januari!
tak pernah berhasil aku menjinakan-mu
tidak terasa sudah tiga november.
dan kau tetap berupaya tidak menyenangkanku

ha ha.

Selasa, 12 November 2013

Utara & Selatan

Kini aku menyadari, semesta menjebak aku dan mata angin
mensiasati supaya aku menuju sudut itu
walau aku tidak mau. tidak akan. Tidak!

di waktu larut dalam konsentrasi kantuk, jebakan itu menggenapi kesunyian pikiran.
selalu pasang enggan menjadi surut, ah tidak memberikan pilihan untuk menepi.
aku yang berlayar tidak bisa pulang, membungkus perasaan dalam kafan. Anjing!

jika aku membiarkan ada sejengkal antara kau & aku
maka aku bukanlah si hebat itu
jika aku membiarkan ada dua hektar antara kau & aku 
maka barangkali kita saling mencari, atau hanya salahsatu

kemudian aku & kau berada di kota yang berbeda, mulai mengembang atau layu
kemudian aku & kau berada di negara yang berbeda, menjadi cahaya atau bayangan
kemudian aku & kau berada di benua yang berbeda
ah, apa yang terjadi?
Tiupanku mampu menjadi badai dimanapun kau berada.

Selasa, 22 Oktober 2013

Untuk kamu yang memandang dunia begitu gelap

Tamasya di sadarmu, aku enggan naif menjadi
terkurung dalam sunyaruri, kamu enggan menyadari
pemberontakan menjadi petir bahasamu yang tak kunjung bercuaca.

serak-serak parau teriak-teriak
bergelantungan di curam-curam dependensi orang tua.

mari cari dasar nalarmu mengakar, kau tikam aku dengan belati serupa monolog
tentang bagaimana agama mengajarimu untuk tidak beribadah.
kamu mendung yang murung berharap penemuan mu terjadi.

kamu dengar kamu bertambah
kamu bicara kamu dalam jumlah yang sama

Selasa, 18 Juni 2013

sekian macam malam

kemudian malam menjadi semacam pemicu reaksi imaji kesenangan yang akan datang
mengurai dan mengunci rasa penasaranku kemudian juga atensi yang hadir mencuri nafasnya selepas tawa.

malam bagiku dan bagimu menjadi semacam sepenggal pembatas
antara rindu-ku dan ketidaktahuan-mu

kemudian malam menjadi semacam pinta,
akan ketersediaan ruang dan kebersediaan datang

Sabtu, 08 Juni 2013

mewarnai dengan mata

aku tersudut, tenaga yang habis tersulut
dihisap hutan yang merupakan salinan dari salinan dari salinan
hutan berwarna vivid, dengan saturasi tinggi mengadu nalarku dengan lenyapku

andai kau lihat polarisasi yang kulihat
acak semerbak yang merambat senyumku meleleh bersama gulita angkasa
bermuara menjadi tak terhingga
rekayasa bahagia? tergantung.

Sabtu, 27 April 2013

Humor tentang anjing


Ini mungkin tak berbeda dengan malam-malam yang kita jalani bersama berdua, menghabiskan imajinasi fiktif kita dalam serakan kalimat. Difusi dari dalam tengkorak kita berdua yang berhadapan kepada ruang yang sedang tidak bercanda dan tidak juga berduka.

Lekat-lekat aku segera merekat pandangan itu, pandangan yang mulai layu, digiring denting detik waktu yang tetap menggumamkan litotes itu, merasa dirinya lugu, tidak bersalah, itu tidak lucu berengsek!!.

Memaksa menguning dan gugur.

Gugur ditempat tidur. Hanyut direndam kantuk dan karam dalam bantal bersama lipatan-lipatan mimpi yang menunggu dibongkar menjadi selembar atau dua lembar dengan pola yang membekas cekas diatasnya. Jika kau mau beranjak ke keningku, mencabik dan membelah kulitku, meminum setiap butir darah yang berderai, lalu remukkan tengkorakku, mungkin kau dapat meremas gagasan yang ada disitu, mungkin kau akan tahu yang kumau, bukan kalimat lagi yang ingin kuucap dari kebergunaan bibir ini, mulut ini, kehendak ini.

Coba tengok, mulutmu penuh dengan buih-buih kalimat yang tadi kau ucap, berceceran sampai dagu, dan kini beralih rupa menjadi jelaga yang entah dibawa siapa menguap lenyap sama sekali. Sungguh, rekah kerut bibir itu yang ingin kusentuh, menerawangnya pelan dengan kecup

Mengikat dan melilit lidah mu dan lidahku menjadi pintalan tak berwujud, kemudian mencair menjadi liur yang rebutan celah diantara segala yang ada didalam mulut kita, untuk menari gila. Saling isi dan menyingkir, saling datang dan diganti, kemudian lelah, melebur jadi abu. Entah decak ludah siapa yang hadir mendominasi ruang mulutku. Semoga mengkristal menjadi stalaktit, biar jadi bukti kalau kita pernah mesra.
Aku yang mendamba, akan terus mengerubuti lekuk merah itu, musim semi yang muncul dari pikat rona pipimu, sampai bayangan mulutmu dirubung entah nafsu atau rinduku.

Ya, mungkin hanya hal itu yang akan menjadikan kata-kata hangus tercekat, memenjaranya dalam kebingungan “harus bagaimana?” ya, mungkin harus menguyah lidahmu yang hambar, dapat keringkan becek-becek yang berserak tak beraturan bagai kubangan, marilah mengganti becek gagasan-gagasan itu menjadi becek-becek terpautnya sentuh kita.

Akhirnya aku ingin mengukir cipta bernama luka diatas permukaan bibirmu, atau lukisan mawar tak bertangkai di batang lehermu yang bersemarak karena darah yang deras melawan gravitasi menuju ruang kontrol pusat.  Maaf telah membuatmu perlu tergelincir kedalam sengat dan regang nikmat yang tak perlu. Aku mengkonversi manifestasi saling percaya kita menjadi eskalasi sensasi.

Tapi rupa-rupanya aku masih dalam pengaruh wajah medusa
aku membatu

terperangah, karena dalam kenyataannya aku hanya mengutuk bertubi, karena tak berkutik! Tak menyanggupi untuk mewadahi teduhnya musim semi dipipimu, nyala temarang musim panas senyum itu, kemayu malu musim gugur kedipan lambat itu, dan aku adalah musim dingin yang jauh ada di desember, menganga kaku karena beku.

Kembali ke kenyataan, aku tak berbuat apa-apa hanya mendengarmu mengemas cerita yang usai kau baca ulang. Memungut dan menata rapi menjadi literatur pustaka ingatanku.

Kacaunya aku memotret ekspektasi imajiner terlalu rimbun, hingga genangnya tenggelamkan realita dan idea. Memadunya hingga tak paham lagi yang mana salah satunya, pula didorong keniscayaan yang memudarkan pulasan perbatasan antara nyata dan tidak. Hingga tiada lagi pembeda, akhirnya aku tersesat dalam alam surealistik pengkultusan yang dicipta sendiri.

Dan kau yang masih tenang duduk diseberang sofa, tidak tahu bahwa aku sedang dimana, tidak tahu bahwa kau adalah candu yang seenaknya tumbuh liar dengan gempita didalam semak belukar kondisi tak bernama.
Dengan kesadaran yang nanar kini aku masih menghisap puntung yang ada disela jariku, menghembusnya lantang lewat kesombongan-sesumbar pejantan alpha, karena tidak mudah membagi kehendak ini, atau 
mungkin mengalihkan kepada sesuatu yang lain.

Ini Libidinal!

Atas nama riak dan ombak aku ingin kau dan aku dibungkus lengket satu pelukan yang mungkin juga berhasil mengundurkan kata-kata yang tak tahan lagi mau amburadul menghambur, tentunya ketika  kau tiba di desember yang beku, dimana Humor tentang Anjing adalah horor yang runtuhkan cuat mercusuar nyaliku menjadi puing-puing fragmen abadi yang dibawa ingatan setiap yang pandang. Dipermainkan sedapnya lawak taman malam dengan hela dan desah lilin yang pasrah mengangkang dilumat angin.
Dan kehendak ini tetap mengamuk dibalik neraka etika dan superego. Aku tetap mendengarmu bercerita, kahendak ini tetap terisolir tak terusik. Aku yang begitu ingin, yang mendamba dan berharap dengan pilu yang kusadari betul hadirnya, bersama bulan yang terdampar dalam genang kopi kita, juga intipan kehendak ini dibalik lubang kunci, begitu ingin, Begitu ingin, Begitu ingin.

Dan yang kulakukan adalah diam mematung diseberang sofa, terbujur kaku tanpa daya, menunggu paduan suara parau para penyambut pagi, sambil menyemil dongeng tuan putri.

Sabtu, 09 Maret 2013

Aku adalah haru miliknya

Aku adalah rasa haru milik Rangga yang mencerabut ilalang kesadaran-nya. aku yang memiliki daya rekam tinggi, kembali memutar reka ulang kejadian secara tiga dimensi didalam kepalanya. berulang hingga nanti dia tinggal belulang.

aku yang membenturkan nalarnya dengan akumulasi gundah
aku yang mencekam rerumputan taman malam nya
aku yang tidak menghibur bulan yang terdampar dalam genang sisa kopinya
aku yang membelenggu pesta tawa tengah malamnya

dia terombang-ambing, mengambang di kolam kepribadian, dirubung sembilu, diracuni dusta dunia bahwa gagasan manusia adalah mamalia.

sungguh itu hanya sekedar fiksi yang dibenarkan cakrawala ilmuwan.

Aku adalah rasa haru milik nya yang mencoba membakar langitnya, supaya dia diberikan ruang lebih dari daya cipta. selama ini dia telah terlalu lama menatap lelangitan yang sama. saatnya untuk membakar habis semuanya, supaya kejenuhan dapat memuai keatas sana yang bukan langit.

Aku adalah haru yang korosif, dan tentu menyukai bersembunyi di celah penyakit-penyakit anak cucu keturunan Adam, atau mungkin Samael

Kamis, 10 Januari 2013

kemarau

kembali lagi, lagi, diremas belukar waktu hingga lamat lamat jadi lumat. Hingga akhirnya berkerut berkeriput. Masa lampau yang hanya berjarak sejengkal dari detik ini, kapankah berhenti mengintimidasi? Melebur aku dalam tendensi untuk rubuhkan harum darahmu, dan ranum kecupmu

berdiri lagi tinggikan halusinasi, bersama jentik gelap sejenak acak mewarnai, ya warna renung langit yang hadir dalam kadar tiada, yang hanya menenangkan disaat injeksi bius gagasan, semarak berpesta diseluruh riuh detak tubuh!


mengelupas, lagi mengorek. mencipta nganga luka lebar terbuka.


 tantang aku yang sembunyi, tantang aku yang berlari.

ah! mungkin kurang lihai sembunyikan diri, atau kurang kencang kaki berlari
sehingga tetap terlindas cemas dan peduli. sialnya, yang mampus mungkin aku.karena mana mungkin bisa mengulangi hari. dini hari mulai ditindas pagi.

sekaplah, dengan tulus aku mencemaskan desahmu

hunuslah, dengan darah aku memuja bengismu





Untukmu, pemilik liur seduktif